Takut Terinfeksi, Tapi Banyak yang Abaikan Protokol Covid-19

[ad_1]

Ketakutan masyarakat atas gelombang kedua Covid tak diikuti perilaku sesuai protokol.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Wahyu Suryana, Antara

Pada hari ini, diumumkan penambahan kasus positif Covid-19 sebanyak 609 orang di Indonesia selama 24 jam terakhir. Angka tersebut didapat dari pemeriksaan spesimen sebanyak 9.049 unit dalam satu hari terakhir. Per Selasa (2/6), jumlah kasus positif Covid-19 di Tanah Air sebanyak 27.549 orang.

Juru Bicara Pemerintah untuk Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyebutkan, penambahan angka kasus positif yang cukup tinggi menunjukkan bahwa penularan masih terjadi di tengah-tengah masyarakat. Artinya, masih saja ada orang pembawa virus corona, baik dengan atau tanpa gejala, yang dengan mudah menularkannya ke orang lain.

“Masih ada orang yang rentan abaikan protokol kesehatan dan belum melakukan adaptasi kebiasaan baru,” kata Yurianto, Selasa (2/6).

Ketua Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Pratiwi Sudarmono juga menyoroti masih banyaknya masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Perilaku itu, menurut Pratiwi, menjadi kontradiktif dengan ketakutan masyarakat akan datangnya gelombang kedua infeksi Covid-19.

Menurut Pratiwi, gelombang kedua infeksi virus corona jenis baru bisa saja terjadi merujuk pada aktivitas masyarakat sebelum dan setelah Idul Fitri, termasuk kegiatan mudik dan balik, serta tenaga kerja Indonesia yang kembali dari luar negeri. Kondisi bisa diperburuk dengan bermutasinya virus corona penyebab Covid-19.

“Masyarakat takut, tetapi mereka leluasa untuk pergi ke sana kemari tanpa masker, berkerumun, minum kopi, ke restoran, dan lain-lain,” kata Pratiwi saat jumpa pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipantau dari akun Youtube BNPB Indonesia di Jakarta, Selasa (2/6).

“Ketika tidak ada pembatasan dan orang tidak takut untuk keluar rumah, dengan sendirinya kemungkinan untuk tertular menjadi tinggi,” kata Pratiwi, menambahkan.

Pratiwi menegaskan, vaksin Covid-19 tidak akan bisa ditemukan dalam waktu singkat. Sehingga, cara paling efektif mencegah penularan adalah penerapan protokol kesehatan secara ketat.

“Kita tidak bisa menunggu sampai virus ini hilang atau vaksin ditemukan. Protokol kesehatan tetap paling efektif mencegah penularan yang dipraktikkan di seluruh dunia,” kata Pratiwi .

Pratiwi mengilustrasikan, vaksin pertama kali ditemukan pada abad ke-18, yaitu vaksin cacar. Meskipun sudah ditemukan sejak lama, permasalahan cacar baru selesai kira-kira 100 tahun kemudian.

“Saat ini mungkin ada 100-an pihak yang berupaya membuat vaksin. Ada sekitar 11 atau 12 yang sudah melakukan uji klinis, itu pun baru dari aspek keamanan dan mencari dosis,” tuturnya.

Vaksin yang sedang diuji klinis tersebut akan dicoba disuntikkan ke hewan untuk melihat apakah di dalam tubuh hewan itu akan terbentuk antibodi.

“Kalau tidak terbentuk antibodi, pengembangan vaksin harus kembali ke awal lagi. Perlu waktu cukup lama, mungkin setahun atau dua tahun,” jelasnya.

Berbicara terpisah, Guru Besar Statistika Universitas Gadjah Mada, Prof Dedi Rosadi, menegaskan, kedisiplinan melaksanakan protokol kesehatan jadi faktor kunci memutus mata rantai penularan Covid-19. Bersama alumnus FMIPA UGM dan PPRA Lemhanas Fidelis I Diponegoro, Heribertus Joko, Dedi membuat permodelan probabilistik dengan dasar data nyata atau probabilistik data-driven model (PDDM). Tracking data dilakukan sampai 28 Mei 2020.

Mereka menemukan lonjakan estimasi kasus positif, yang awalnya diperkirakan 31 ribu menjadi 48 ribuan pada akhir pandemi. Ditemukan pula data baru dari pantauan model stokastik.

Ditemukan angka penularan angka reproduksi atau angka penularan waktu ke-t (R0t) Covid-19 nasional yang tadinya sudah turun sampai 1.114 pada 11 Mei 2020. Lalu, menunjukkan tren naik pada pekan kedua Mei 2020. Kemudian, mencapai puncaknya pada 23 Mei 2020, dan terus menunjukkan tren menurun dan pada 30 Mei 2020 tercatat bernilai sebesar 1.107.

Angka perhitungan R0t Covid-19 nasional beberapa hari terakhir masih sekitar 1.1. Hal ini menunjukkan masyarakat tidak berhasil menjalankan protokol kesehatan secara disiplin, maka kondisi belum bisa dikatakan aman.

“Harus dipahami kondisi tiap daerah bervariasi besaran angka reproduksinya. Sesuai data base BNPB per 31 Mei 2020, 104 kabupaten/kota merupakan daerah dengan zona hijau, sehingga daerah itu relatif aman dilaksanakan new normal untuk dilaksanakan new normal sesuai protokol,” kata Dedi, Selasa (2/6).

Ia menilai, mematuhi protokol kesehatan yang dimaksud tidak berbeda dengan yang disampaikan pemerintah. Utamanya memakai masker ketika ke luar rumah, rajin cuci tangan memakai sabun dan tangan tidak steril tidak sentuh wajah.

Kemudian, perhatikan anjuran menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Selain itu, pengawasan dan pengendalian yang ketat terhadap mobilitas penduduk baik domestik dan internasional yang berpotensi mengakibatkan penularan virus.

Misalnya, arus balik, yang perlu jadi perhatian selain pengendalian penyebaran lokal. Caranya, tracking dan karantina orang beresiko (PDP dan ODP), serta rapid test terukur dan masif atas potensi OTG, terutama daerah zona merah.

Dedi melihat, munculnya epicenter baru Jawa Timur penyebab lonjakan pasien positif paling signifikan. Keberhasilan penanganan Covid-19 di Jawa Timur jadi tumpuan harapan bersama agar pandemi tidak semakin mengkhawatirkan.

“Demikian pula pengendalian provinsi-provinsi lain yang berpotensi membahayakan seperti Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Papua yang perlu dioptimalkan agar Indonesia semakin optimistis menatap ke depan,” ujar Dedi.



[ad_2]

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *